Rabu, 19 Juni 2013

Perbedaan Budaya Indonesia dengan Jepang

Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional.
Antara Jepang dan Indonesia memang memiliki banyak perbedaan, baik secara budaya dan kondisi negara. Namun ada yang hampir sama antara keduanya, yaitu kedua negara sama-sama memiliki ciri khas masing-masing, Indonesia yang terkenal dengan keberagaman dan kekayaan masyarakatnya, begitupula Jepang yang kental dengan budaya samurainya. Namun dalam hal budaya ini, nampak ada perbedaan yang mencolok yaitu negara Jepang sangat menghargai hasil budaya mereka sehingga semakin lama budaya Jepang akan semakin maju, seperti halnya kimono. Sehingga Kebudayaan Jepang semakin dikenal didunia namun tidak untuk Indonesia, kebanyakan warganya menganggap jika budaya Indonesia sangatlah kampungan sehingga banyak yang lebih bangga memakai budaya asing dari budayanya sendiri.
Secara SDM dan SDA, ternyata antara Jepang dan Indonesia juga sangat unik. Jepang adalah negara miskin SDA namun kaya akan SDM sementara Indonesia kaya akan SDA namun miskin SDM. Sehingga meskipun SDA Jepang jauh lebih rendah dibanding Indonesia, Jepang bisa lebih kaya dari Indonesia. Bahkan ekspor SDA Jepang jauh lebih besar dibanding Indonesia. Karena Indonesia rata-rata hanya mengekspor barang mentah ke Jepang, setelah jadi barang maka balik diekspor ke Indonesia dengan harga hampir seratus kali lipat. Dengan kata lain, kita membeli produk kita sendiri, sementara keuntungan besar diambil bangsa lain.
Indonesia harusnya belajar banyak dari Jepang, sebagai Negara yang miskin SDA dan rawan Bencana, Jepang bisa menjelma menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang memberikan banyak sumbangsih dan inspirasi bagi bangsa lain. Bangsa yang mengajarkan kebangkitan usai keterpurukan, karena jelas kemajuan jepang yang pesat justru ketika mereka baru di bombardir Amerika pada saat perang dunia.
Tradisi penamaan di Jepang sangatlah unik. Nama di Jepang terdiri dari dua bagian: family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya.
Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”() dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (), sedangkan perempuan berakhiran “ko” ()
Perbedaan antara kedua tradisi sbb.
1.             Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta kelahiran
2.             Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
3.             Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak

Masih berkaitan dengan nama, adalah masalah tanda tangan dan inkan (stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Tanda tangan ini harus konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik yang membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama. Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang, tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal. Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang dipakai di Jepang. Antara lain :
1.             “Mitomein” (認印) dipakai untuk keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting, misalnya saat menerima barang kiriman, mengisi aplikasi.
2.             “Jitsuin” (実印) dipakai untuk keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli mobil. Inkan tipe ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan.
3.             “Ginkoin” (銀行印) dipakai untuk membuka rekening di bank
“Jitsuin” dan “ginkoin” sangat jarang dipakai dan harus disimpan baik-baik. Karena kalau hilang akan menimbulkan masalah serius dalam bisnis.
Bagi orang asing saat masuk ke Jepang harus membuat inkan. Untuk membuat rekening bank, kita tidak boleh memakai tanda tangan, dan harus memakai inkan. Kecuali yubinkyoku masih membolehkan pemakaian tanda tangan. Karena tidak punya kebiasaan tanda tangan, banyak maka orang Jepang kalau diminta untuk menanda tangan (di paspor misalnya), umumnya mereka menuliskan nama lengkap mereka dalam huruf kanji. Barangkali karena inilah maka kalau saya diminta seorang petugas pengiriman barang, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti terima, dia berkata “tolong tuliskan nama lengkap anda”, padahal itu di kolom signature. Sepertinya untuk mereka, tanda tangan sama dengan menulis nama lengkap.
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.
·                Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukanojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 yaitu saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan,ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
·                Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.
·                Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
·                Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
·                Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.