Budaya adalah kristalisasi nilai dan
pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan
berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan
budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan
antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan
perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman
pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi
dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat
perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik
kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki
sekitar 15 bahasa dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga
nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri
heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah
untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional.
Antara Jepang dan Indonesia memang
memiliki banyak perbedaan, baik secara budaya dan kondisi negara. Namun ada
yang hampir sama antara keduanya, yaitu kedua negara sama-sama memiliki ciri
khas masing-masing, Indonesia yang terkenal dengan keberagaman dan kekayaan
masyarakatnya, begitupula Jepang yang kental dengan budaya samurainya. Namun
dalam hal budaya ini, nampak ada perbedaan yang mencolok yaitu negara Jepang
sangat menghargai hasil budaya mereka sehingga semakin lama budaya Jepang akan
semakin maju, seperti halnya kimono. Sehingga Kebudayaan Jepang semakin dikenal
didunia namun tidak untuk Indonesia, kebanyakan warganya menganggap jika budaya
Indonesia sangatlah kampungan sehingga banyak yang lebih bangga memakai budaya
asing dari budayanya sendiri.
Secara SDM dan SDA, ternyata antara
Jepang dan Indonesia juga sangat unik. Jepang adalah negara miskin SDA namun
kaya akan SDM sementara Indonesia kaya akan SDA namun miskin SDM. Sehingga
meskipun SDA Jepang jauh lebih rendah dibanding Indonesia, Jepang bisa lebih
kaya dari Indonesia. Bahkan ekspor SDA Jepang jauh lebih besar dibanding
Indonesia. Karena Indonesia rata-rata hanya mengekspor barang mentah ke Jepang,
setelah jadi barang maka balik diekspor ke Indonesia dengan harga hampir
seratus kali lipat. Dengan kata lain, kita membeli produk kita sendiri,
sementara keuntungan besar diambil bangsa lain.
Indonesia harusnya belajar banyak dari
Jepang, sebagai Negara yang miskin SDA dan rawan Bencana, Jepang bisa menjelma
menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang memberikan banyak sumbangsih dan
inspirasi bagi bangsa lain. Bangsa yang mengajarkan kebangkitan usai
keterpurukan, karena jelas kemajuan jepang yang pesat justru ketika mereka baru
di bombardir Amerika pada saat perang dunia.
Tradisi penamaan di Jepang sangatlah
unik. Nama di Jepang terdiri dari dua bagian: family name dan first name. Nama
ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14
hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga
kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku
sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat
biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga
menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di
Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika
seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama
suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan
nama keluarganya.
Dari survey yang dilakukan pemerintah
tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah,
mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga. Hal ini terjadi karena
pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家) dalam tradisi
keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar,
sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada
keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga
suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna
huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan
si anak.
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam
memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik,
sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya
stroke kanji yang dipakai juga merupakan salah satu pertimbangan tertentu dalam
memilih huruf untuk anak. Umumnya laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (郎), sedangkan
perempuan berakhiran “ko” (子)
Perbedaan
antara kedua tradisi sbb.
1.
Di
Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di
Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor
pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta
kelahiran
2.
Di
Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti
nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita
tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan
di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku
Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di
belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni,
maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati
proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
3.
Huruf
Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh
pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di
Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai
nama anak
Masih berkaitan dengan nama, adalah
masalah tanda tangan dan inkan (stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan
adminstrasi formal sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda
tangan. Tanda tangan ini harus konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan
berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik yang
membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama. Tanda tangan ini
juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang Indonesia akan berangkat ke
Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang, tanda tangan yang semula memiliki peran
penting, menjadi hilang perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki
kekuatan formal. Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan
adalah dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama
keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang dipakai di Jepang. Antara lain :
1.
“Mitomein”
(認印) dipakai untuk
keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting, misalnya saat menerima barang
kiriman, mengisi aplikasi.
2.
“Jitsuin”
(実印) dipakai untuk
keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli mobil. Inkan tipe ini harus
dicatatkan di kantor pemerintahan.
3.
“Ginkoin”
(銀行印) dipakai untuk
membuka rekening di bank
“Jitsuin”
dan “ginkoin” sangat jarang dipakai dan harus disimpan baik-baik. Karena kalau
hilang akan menimbulkan masalah serius dalam bisnis.
Bagi orang asing saat masuk ke Jepang
harus membuat inkan. Untuk membuat rekening bank, kita tidak boleh memakai
tanda tangan, dan harus memakai inkan. Kecuali yubinkyoku masih membolehkan
pemakaian tanda tangan. Karena tidak punya kebiasaan tanda tangan, banyak maka
orang Jepang kalau diminta untuk menanda tangan (di paspor misalnya), umumnya
mereka menuliskan nama lengkap mereka dalam huruf kanji. Barangkali karena
inilah maka kalau saya diminta seorang petugas pengiriman barang, untuk
membubuhkan tanda tangan sebagai bukti terima, dia berkata “tolong tuliskan
nama lengkap anda”, padahal itu di kolom signature. Sepertinya untuk mereka,
tanda tangan sama dengan menulis nama lengkap.
Salah
satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk
mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam
mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.
·
Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara
menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih,
permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi :
ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei
adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukanojigi, untuk pria
biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita
biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang
dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 yaitu
saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama
dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin
disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan
sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku
sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian,
karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk
melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan,ojigi dilakukan berulang kali.
Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun
dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
·
Jabat
tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di
Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi
di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua
tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya
tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan,
pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada,
ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak
semata lahiriah, tapi juga dari batin.
·
Cium
tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan
sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang
awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas
darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya
Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai
penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau
lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga
yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang
tidak dikenal budaya cium tangan.
·
Cium
pipi
Cium
pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu,
atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan
sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
·
Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan
masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan
sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada
gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan,
atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf
kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia
memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf.
Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun
Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal
budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan
melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh
gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata.
Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat
tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.